Resensi Buku “Lupa Endonesa Deui”

Lupa endonesa deui

 AKSI NYATA SANG DALANG
Oleh : Widbaha Kusriedel Niar

Judul Buku : Lupa Endonesa Deui
Penulis : Sujiwo Tejo
Penerbit : Bentang
Tempat Terbit : Yogyakarta
Tebal Buku : xvii + 342 hlm.
ISBN : 978-602-7888-96-8

Sujiwo Tejo, merupakan seniman, seorang dalang yang selalu mengungkapkan isi hati dan pemikirannya melalui karya-karya yang hebat berupa musik, tulisan dan lukisan, bahkan tak sedikit pula yang menyebut Sujiwo adalah seorang budayawan. Sujiwo Tejo telah menerbitkan 9 buku non-fiksi selain buku “Lupa Endonesa Deui”, juga pernah menyutradarai berbagai film dokumenter dan menjadi aktor dalam banyak film besar. Sujiwo Tejo, seniman yang sangat berani dalam mengungkapkan apa yang ia rasakan tentang bangsa Indonesia ke dalam berbagai bentuk karya seni, tidak hanya sekedar ngerasani di belakang dan hanya ngomong doang, tetapi berani mengajak warga Indonesia untuk ikut membicarakan bangsa Indonesia bersamanya.

Pertama kali membaca judul buku ini, yang ada dibenak saya adalah bahwa buku ini membahas tentang masyarakat Indonesia yang sudah melupakan negaranya. Mereka melupakan negara Indonesia dan beralih mengikuti budaya barat yang terkesan glamour, padahal sesungguhnya tidak seperti itu.

Buku “Lupa Endonesa Deui” membuat kita sadar bahwa sebenarnya negara ini mempunyai banyak sekali kekurangan yang disebabkan oleh warganya sendiri. Setiap cerita yang Sujiwo tuliskan sangat tepat dan tidak meleset misalnya, sindiran tentang kurikulum bangsa Indonesia dalam sub-bab “Sengkuni Benar Soal Kurikulum”. Sujiwo benar, bahwa murid SD tidak seharusnya diberi begitu banyak pelajaran yang mengakibatkan waktu bermain mereka berkurang. Penjurusan antara IPA/IPS di SMA membuat siswa dipaksa untuk belajar dan menyenangi pelajaran yang sebenarnya bukanlah kemampuannya, seperti kata Petruk di akhir sub-bab bahwa, “kurikulum harus disesuaikan juga dengan bakat dan kemampuan siswa. Jangan tanam padi di tegal. Jangan tanam jagung di sawah.”

Masih tentang pendidikan pula, UN selalu menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian siswa di Indonesia dan hal itu tak luput dari sindiran halus namun nyelekit dan nyeleneh dari Sujiwo Tejo. Pada sub-bab “Elegi Bunga Bangkai”, Jiwo mengungkapkan bahwa saat pelaksanaan UN banyak sekali halangan yang terjadi, seperti soal UN yang datang terlambat, tidak kebagian soal UN, soal UN yang tertukar antara IPA/IPS dan masih banyak lagi. Meskipun sebenarnya ada sedikit salah ketik pada kalimat “Hah, apa iya?” Cangik kaget alang kepalang. Ia bangkit dari sandarannya ke tubuh Cangik. Panggilan “ia” dikalimat itu adalah kata ganti dari nama Cangik, sehingga apabila dibenarkan akan menjadi “Hah, apa iya?” Cangik kaget alang kepalang. Cangik bangkit dari sandarannya ke tubuh Cangik, kalimat ini tidak masuk akal. Namun, apa yang diutarakan Sujiwo dalam sub-bab ini memang benar adanya.

Tema lain yang juga tak kalah menarik dalam buku ini dibahas dalam judul sub-bab “Butir-Butir Pasir di Laut Nglindur”. Judul ini menceritakan tentang Dewi Sinta yang sadar bahwa anaknya, Ibrahimovic adalah orang yang sama dengan suaminya sekarang yaitu Prabu Watu Gunung. Ibrahimovic pernah ia usir sepanjang masa setelah sebelumnya dipukul kepalanya dengan centong nasi karena selalu bermain bola dan tidak pernah mengaji. Cerita yang hampir sama dengan cerita rakyat Gunung Tangkuban Perahu. Dewi Sinta ingin menceraikan suaminya, caranya ia berkata bahwa ingin dimadu dengan Dewi Android. Suaminya pun berperang melawan para Batara yang ingin mendapatkan Dewi Android, sampai akhirnya ia tewas di tangan Dewa Wisnu, hanya karena kalah dalam permainan cangkriman. Cangkriman yang ditanyakan Prabu Watu Gunung dalam judul ini dijawab dengan benar oleh Dewa Wisnu. Dijalankan, tetapi tidak dijalankan. Jawabannya adalah dijadikan jalan atau dijadikan nama jalan tetapi dihitamkan, yaitu PAHLAWAN. Nama mereka dijadikan nama jalan namun semangat dan cita-citanya tak dilaksanakan.

Meskipun ada sedikit salah ketik dibeberapa judul sub-bab, namun keseluruhan cerita yang dituliskan oleh Sujiwo Tejo dalam buku ini sangatlah menarik, berani dan apa-adanya. Pengalaman Sujiwo Tejo dalam berkarya sudah tidak dapat diragukan lagi, seperti yang sudah ditulis di atas. Itu semua dibuktikan dengan buku-buku yang telah ia terbitkan, menjadi dalang dalam banyak pergelaran wayang, menjadi sutradara beberapa film dokumenter dan masih banyak lagi. Tema-tema yang digunakan dalam cerita ini adalah hal nyata, benar adanya dan ditulis berdasarkan pengalaman yang memang terjadi di Tanah Air.

Bagi Sujiwo Tejo, menulis merupakan hal wajib yang dilakukan oleh seorang dalang, karena menurutnya untuk menjadi seorang dalang, ia harus menguasai dasar-dasar seni rupa, musik, akting dan sastra.
Buku “Lupa Endonesa Deui” yang ditulis oleh Sujiwo Tejo ini dapat dibaca oleh semua kalangan, meskipun ada beberapa kosakata yang mungkin akan sulit dimengerti secara langsung oleh pembaca yang tidak mengerti banyak tentang cerita Jawa, namun secara keseluruhan, isi yang ada di dalam buku ini benar-benar membuat kita para pembaca terbuka pikirannya tentang Indonesia.

——

Latepos banget ya tapi nggak apa-apa kan, daripada blgnya kosong hehe 😀

1 Comments

  1. Ping balik: Semarang, The Herritage (1) | Widbaha Kusriedel Niar

Tinggalkan komentar